1/31/12

KEISTIMEWAAN AQIDAH ISLAM


(AQIDAH AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH)[i]


Oleh :


Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd
Aqidah Islam yang tercermin di dalam aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh aqidah manapun. Hal itu tidak mengherankan, karena aqidah tersebut diambil dari wahyu yang tidak tersentuh kebati lan dari arah manapun datangnya. Keistimewaan itu antara lain:

1- Sumber Pengambilannya adalah Murni
Hal itu karena aqidah Islam berpegang pada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ Salafush shalih. Jadi, aqidah Islam diambil dari sumber yang jernih dan jauh dari kekeruhan hawa nafsu dan syahwat. Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh berbagai madzhab, millah dan ideology lainnya di luar aqidah Islam (aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah).
Orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. Kaum sufi mengambil ajarannya dari kasyaf (terbukanya tabir antara makhluk dengan Tuhan), ilham, hadas (tebakan), dan mimpi.
Kaum Rafidlah mengambil ajarannya dari asumsi mereka di dalam al-jafr (tulisan tangan Ali bin Abi Thalib _)

1/30/12

Etika Bisnis Islam

Islam menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan  memenuhi  hak-hak  Allah  dan  manusia,  serta  menjaga  muamalah  nya  dari  unsur yang  melampaui  batas  atau  sia-sia.  Seorang  pebisnis  muslim  adalah  sosok  yang  dapat dipercaya,  sehingga  ia  tidak  menzholimi  kepercayaan  yang  diberikan  kepadanya  ”Tidak ada  iman  bagi  orang  yang  tidak  punya  amanat  (tidak  dapat  dipercaya),  dan  tidak  ada agama  bagi  orang  yang  tidak  menepati  janji”,  ”pedagang  yang  jujur  dan  amanah (tempatnya  di  surga)  bersama  para  nabi,  Shiddiqin  (orang  yang  jujur)  dan  para  syuhada” (Hadits).

Beberapa  iklan  di  televisi menampilkan  produk  toiletris  seperti  sabun  mandi,  atau  perawatan  kulit,  yang  secara sengaja  mengumbar  kulit  mulus  wanita  cantik,  atau  kita  juga  disuguhkan  oleh  iklan  obat
sekali  minum  sembuh,  padahal  proses  penyembuhan  penyakit  tidak  sesederhana  itu. Tayangan  sinetron 

1/29/12

PENDIDIKAN KARAKTER


Perkembangan 30 tahun terakhir kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia ditandai oleh banyak peristiwa yang berdampak besar dalam kehidupan dan sekaligus mencerminkan derajad karakter masyarakat Indonesia. Bagaimana ketika tahun 1992, saat Orde baru, semua atau setidaknya sebagian besar anggota DPR/MPR secara aklamasi menyetujui pengangkatan H.M Soeharto sebagai Presiden RI untuk ke 4 kalinya. Saat itu sesungguhnya masyarakat telah merasakan ketidaknyaman dalam kehidupan social politik, social budaya  dan dan social ekonomi. Semua system kehidupan diarahkan sesuai kehendak penyelenggara kekuasaan, termasuk system dan kebijakan pendidikan. Penataran P4 dengan berbagai polanya dipakai sebagai kebijakan yang diharapkan dapat memperkuat karakter bangsa. Melalui penataran P4 diharapkan terbentuk manusia Indonesia yang cinta tanah air, memiliki pemahaman politik yang sama, dan sifat-sifat kemuliaan, kesantunan dan kepedulian social yang tinggi. Tetapi apa yang terjadi ? Pertentangan antar kelompok masyarakat makin meningkat, korupsi merajalela, pengakuan superioritas sekolompok masyarakat tertentu  terhadap kelompok masyarakat lain, kebencian yang makin kuat terhadap etnik tertentu, kebencian yang makin kuat terhadap system dan pelaksanaan program pemerintah  yang dinilai sangat sentralistik dan otoriter, dan masih banyak hal lain yang kontradiksi dengan hasil yang diharapkan dari Penataran P4. Di kalangan umat Islam yang merupakan mayoritas bangsa ini, banyak kebijakan yang justru

Mengapa (Perlu) Pendidikan Karakter?


Ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung kepada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal ialah: Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Relijius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misal pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan relijius itu sendiri (Kirschenbaum, 2000). Sebagai kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten (isi), pendekatan dan metode kajian. Di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat terdapat pusat-pusat kajian pendidikan karakter (Character Education Partnership; International Center for Character Education). Pusat-pusat ini telah mengembangkan model, konten, pendekatan dan instrumen evaluasi pendidikan karakter. Tokoh-tokoh yang sering dikenal dalam pengembangan pendidikan karakter antara lain Howard Kirschenbaum, Thomas Lickona, dan Berkowitz.  Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.
Terminologi ”karakter” itu sendiri sedikitnya memuat dua hal: values (nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang melekat dalam sebuah entitas. ”Karakter yang baik” pada gilirannya adalah suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Dari hal ini, maka kajian pendidikan karakter akan bersentuhan dengan wilayah filsafat moral atau etika yang bersifat universal, seperti kejujuran. Pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai menjadikanupaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai,