10/21/11

Tumbuh Kembang Pendidikan Islam


Sejarahwan Eropa dan Amerika tentang pendidikan tinggi pada umumnya menyimpulkan bahwa akademik dan universitas berasal dari Paris dan Bologna abad pertengahan. Beberapa penulis menyebut lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang kebih awal adalah museum-museum Yunani, sekolah-sekolah Islam Charlemagne di Aachen. Beberpa kalimat mungkin menyebutkan pengaruh ilmuwan-ilmuwan dan sekolah-sekolah Islam atas perguruan tinggi di Barat. Pendapat yang paling umum berlaku menyebutkan bahwa Islam berperan sebagi jembatan penghubung antara Yunani Kuno dengan Barat abad pertengahan dengan hanya melakukan sedikit penambahan pada pengetahuan yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Latin, lalu menyebar ke seluruh Eropa. Maka dari itu, penting untuk mengkaji terhadapat keberadaan pendidikan tinggi Islam pada masa klasik, guna mencari informasi yang benar tentang pengaruh dan peran pendidikan Islam bagi Eropa dan Barat sekaligus untuk menggambarkan karakteristik sistem pendidikan Islam di negara­negara Islam sekarang. Ada dua tujuan: pertama, meningkatkan kesadaran para pendidik profesional dan para ilmuwan tentang warisan intelektual dan institusional yang ditinggalkan oleh ilmuan-­ilmuan dan patron-patron Islam klasik, antara abad ke-8 sampai ke-13 Masehi; kedua, untuk meneliti teka-teki tentang kenapa universitas seperti kita pahami sekarang tidak tumbuh di lahan intelektual Islam masa klasik.
Karakteristik Pendidikan Tinggi Islam
Bangsa Arab adalah bangsa yang sebagian besar berasal dari bangsa Nomad, terutma sebelum Islam. Mereka mengnggap gurun pasir sebagai tempat untuk pendidikan anak-anak mereka. Kehidupan pengembaraan yang keras mereka lukiskan dengan puisi (sya'ir) yang memberikan kesadaan pada anak-anak merka akan kerasnya perjuangan. Melalui sya'ir inilah nilai-nilai pendidikan mereka transformasikan kepada anak-anak mereka. Ketika Islam mereka terima, maka peran sya'ir digantikan oleh al-Qur'an untuk menentukan panduan dan arah pendidikan bagi anak­-anak mereka.
Peran al-quran menjadi dasar dan pegangan bagi segalanya, termasuk dalam melakukan dan menentukan sistem pendidikan bagi masayarakat Arab. Merlalui peran al-qur'an ini pada masa awal para anak-anak dituntut untuk mampu membacanya dan memahami isinya, sehingga pelajaran membaca dan pemahaman mulai diajarkan kepada anak-anak mereka. Karena begitu besarnya arti penguasaan al-Qur'an, maka kegiatan pengajarannya memnjadi menyeluruh dan sangat sentral, sehingga tumbuhlah pusat-pusat pengajaran al-qur'an di mana-mana, utamanya di masjid-masjid.
Keberadaan pusat pengajian al-qur'an di masjid-masijd selanjutnya meluas dan berkembang, baik dari segi materi kajian maupun bentuk atau sistem pembelajarannya. Perluasan dan perkembangan materi kajian meluas pada masalah hadis Rasulullah, fiqh, aqidah, akhlak, dan sebagainya yang menjadi kandungan al-Text Box: 4qur-an dan hadis. Perluasan dan perkembangan sistem pembelajaran itu berkembang dalam bentuk halaqah (kelompok­kelompok kajian berdasarkan bidang kajian) dan dalam bentuk kuttab (semacam lembaga pendidikan semi formal dengan sistem tingkat berdasarkan tingkatan kitab yang dipelajari). Di samping itu, karena banyaknya para penuntut ilmu dari berbagai luar daerah, maka masjid menyediakan asrama tempat menginap, sehinga muncullah istilah masjid Khan yang sekaligus dijadikan pula sebagai tempat belajar. Dari masjid khan inilah, selanjutnya tumbuh menjadi madrasah (lembaga pendidikan Islam yang berada di luar masj id / berdiri sendiri) .
Ada polimik di antara berbagai sejarahwan, baik Islam maupun Barat. Tentang definisi madrasah;  Pertama, madrasah adalah merupakan kelanjutan dari pendidikan sebelumnya (halakah dan masjid khan), Kedua, pendidikan di madrasah diajar oleh syeikh (profesor); Ketiga, setelah madrasah tidak ada lagi pendidikan lanj utannya.
Munculnya madrasah ini diawali oleh gagasan Nizhamul Muluk, seorang penguasa pada masa kekhalifahan Abbasyiyah (masa jaya Islam). Madrasah ini berusaha mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, khususnya fikih yang berorientasi pada mazhab Syafi'ie. Setelah munculnya madrasah pertama ini, maka selanjutnya bermunculanlah madrasah-madrasah berikutnya dengan berbagai corak (disiplin kajian, termasuk madrasah kedokteran).
Selain madrasah, lembaga pendidikan Islam yang dapat digolongkan sebagai pendidikan berkelanjutan juga di berbagai tempat khusus, seperti di perpustakaan, di rumah sakit, di observatorium, dan sebagainya, yang umumnya secara khusus mengkaji bidang­-bidang tertentu sesuai dengan karakteristik kelembagaannya. Dari lembaga-lembaga inilah tradisi akdemik berkembang dengan pesat dan menakjubkan yang melahirkan ilmuan-ilmuan besar seperti Ibn Sina (Avesena), Ibn Rusyd (Averos), dan lain-lain yang kelak tradisi dan ilmu pengetahuannya sangat berpengaruh bagi tumbuhnya tradisi akademik di Erpa dan Barat.

Pengaruh Pendidikan Islam terhadap Pendidikan Eropa
Sumbangan yang luar biasa, baik berupa lembaga maupun tokoh, bagi warisan intelektual dalam peradaban dunia telah diberikan oleh Islam. Namun, setelah priode klasik, baik Timur maupun Barat, cenderung mengabaikan prestasi mereka. Para ilmuan Kristen mereguk keuntungan filsat yang disediakan para ilmuwan Islam. Masyarakat Islam melanjutkan kegiatan masa-masa awal (bangsa Yunanai) sehingga kita mengenal kemajuan peradaban itu. Islam mewujudkan dirinya sendiri dalam sebuah buku tradisi untuk membimbing perilaku manusia melalaui prinsip-prinsip keadilan hukum - yang melindungi hak-hak pribadi dan masyarakat.
Sementara beberapa sejarahwan menyebutkan madrasah dan masjid-masjid yang besar abad ke-11 dan ke-12 sebagai universitas, lembaga-lembaga itu sebetulnya tidak sebanding dengan universitas abad pertengahan. Pada intinya, masyarakat Islam tidak pernah mengembangkan lembaga universitas yang didasarkan pada masyarakat ilmuwan yang bergabung bersama dalam bentuk formal, yang didekasikan khusus untuk pengajaran dan dunia keilmuan.
Meski Barat tidak dapat melihat dengan jelas bahwa bentuk dan struktur akademik dan universitas di Barat berasal dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam. Tetapi, warisan yang diterima dari Islam jauh lebih penting dari sekedar gudang pengetahuan dan sebuah jembatan yang menghubungkan pendidikan masa kono dan modern.
Keberadaan Pendidikan Tinggi Islam sekarang
Para kalangan akademisi Islam telah melupakan rangsangan yang diberikan Islam dalam mempelajari ilmu pengetahuan khususnya sains. Islam juga gagal menarik kembali warisan kreatif miliknya secara berkelanjutan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Penelitian dalam kedua bidang itu merosot dan hampir pudar karena pendidikan hampir sepenuhnya terserap oleh isu-isu agama dan hukum.
Lembaga-lembaga pendidikan tinggi - dalam aneka ragam bentuknya - muncul tidak untuk menyediakan kelanjutan bagi bidang-bidang studi tingkat permulaan, melainkan hanya untuk memenuhi dua kebutuhan penting dalam masyarakat, yaitu menjelaskan al-qur-an dan untuk menysuaikan prinsip-prinsipnya bagi lingkugan yang berubah.
Perguruan tinggi Islam telah kehilangan misi akademisnya untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan pada semua bidang studi dan keilmuan. Lembaga pendidikan juga kehilangan kreativitas intelektual mereka. Pelarangan ilmu-ilmu asing dan penempatan studi humanistik ke dalalm studi keagamaan dan hukum memiliki dampak yang negatif bagi kelangsungan studi dan kehidupan lembaga-lembaga pendidikan dalam Islam.
Keadaan demikian disamping khususnya berlangsung sejak kemunduran Islam abad ke-13 hingga abad ke-18, juga masih berlangsung pada berbagai pendidikan tinggi di berbagai negara Islam hingga saat ini. Lemaga-lembaga pendidikan tinggi Islam tidak berkembang menjadi universitas atau bahkan akademi lanjutan. Hampir seluruhnya tumbuh dan kemudian hilang dalam waktu yang relatif singka. Al-Azhar di Kairo merupakan satu pengecualian yang menarik, paling tidak dari sisi kontinuitas dalam perjalanan sejarah.
Sepanjang sejarah Islam, madrasah diabdikan terutama untuk mentranmisikan ilmu-ilmu keagamaan, dengan penekanan khusus pada fikih, tafsir dan hadis. Dengan demikian, ilmu-ilmu non-keagamaan, khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta - yang merupakan akar pengembangan sains dan teknologi, sejak awal petrkembangan madrasah sudah berada dalam posisi marjinal (Azra, 1994: vii). Meskipun juga terdapat madrasah di bidang kedokteran, tetapi hal itu hanya sekedar penamaan saja. Kemajuan sains lebih merupakan hasil dari individu-individu ilmuan Muslim yang didorong semangat "scientific inquiry guna membuktikan kebenaran ajaran-ajaran al-Qur an, terutama yang bersifat "kauniyah" (Faruqi, 1986: 324-325).
Pendapat ilmuwan barat bahwa Islam (negara­-negara Islam) telah gagal meneruskan warisan intelektual pendahulunya. Kegagalan itu utamanya setelah terjadi penghancuran brutal dari Holago Khan terhadap khazanah pengetahuan Islam di Abad 13-14 M., di samping besarnya pengaruh tradisi pendidikan madrasah yang memarjinalkan ilmu-ilmu non keagamaan, serta perkembangan tarikat-tarikat di dunia Islam (Nasution, 1985)
Tibanya abad kebangkitan Islam yang dimulai di akhir abad ke-18 ternyata tidak serta merta dapat merubah tradisi intelektual dan pendidikan dunia Islam. Implikasi supremasi ilmu agama menimbulkan dampak yang amat substansial bukan hanya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam, tetapi juga peradaban Islam secara keseluruhan. Secara keilmuan perkembangan semaam ini menciptakan dikotomi dan antagonisasi berbagai cabang ilmu.(Azra, 1994: x).

BUKU RUJUKAN
Al-Faruqi, Ismai'il R. & Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, New York, 1986.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar), Jakarta, Logos, 1995.

Baiqoni, Achmad, Al-Qur'an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Yogyakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1995.

Dodge, Bayard,          Al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning, Washington, D.C., 1961.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta, Bulan Bintang, 1985.

Stanton, Charles Michael, Haiger Learning in Islam, The Classical Period, A.D., 700-1.300, Rowman & Littlefield Publisher, Inc., 1990.

No comments:

Post a Comment