10/21/11

Contoh Skripsi


BAB 1 – PENDAHULUAN

Latar Belakang dan Perumusan Masalah:
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.

Pada zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren (Hasbullah 1999:149). Selanjutnya, pondok pesantren berperan dalam era kebangkitan Islam di Indonesia yang menurut Prof. Azyumardi Azra telah terlihat dalam dua dekade terakhir ini. Akhirnya, pada awal abad ke-21 ini, dalam konteks peran Amerika Serikat melawan terorisme dan penangkapan pelaku peledakan bom di Bali[1], pondok pesantren dituding memainkan peran sebagai lembaga pendidikan yang menyebarkan ajaran Islam ekstrim.

Tuduhan tersebut adalah hal yang sangat serius bagi lembaga-lembaga pondok pesantren di Indonesia, terutama pada saat ini ketika Amerika Serikat dan sekutunya sedang mencari dan mencoba menebak tindakan berikut jaringan teroris yang ternyata sudah muncul di Indonesia.

Stigma ‘sarang teroris’ yang belakangan ini melekat pada pondok pesantren di Indonesia berdasarkan dari proses pencarian dan penangkapan pelaku peledakan bom di Bali. Ada dua hal utama dari investigasi peledakan bom di Bali tersebut yang penting dalam tuduhan pondok pesantren ini. Pertama, penangkapan Kyai Abubakar Basyir yang dituduh berkaitan dengan kepemimpinan jaringan teroris Jemaah Islamiyah (JI) di Indonesia dan Asia Tenggara. Kedua, penangkapan dan pengakuan tiga orang saudara dari pondok pesantren di desa Tenggulun, Jawa Timur yang merencanakan dan melakukan peledakan bom di Bali. Ini berarti bahwa memang ada kaitan di antara pondok pesantren di Indonesia dan jaringan teroris internasional.

Masalahnya muncul karena bukti ini harus dilihat dengan sikap proporsional. Walaupun beberapa pondok pesantren dituduh berkaitan dengan jaringan teroris internasional dan tindakan ekstrim, itu tidak berarti bahwa semua pondok pesantren menyebarkan ajaran Islam ekstrim.

Untuk mencoba menjawab pertanyaan bagaimana posisi pondok pesantren terhadap proses penyebaran ajaran Islam ekstrim di Indonesia, perlu didefinisikan dulu, apa maksud dari  ekstrim?

Pada umumnya, sesuatu yang ekstrim adalah sesuatu yang kurang seimbang. Sesuatu yang luar biasa, yang kelebihan, dan yang di luar nilai-nilai umum. Misalnya olahraga ekstrim, bahasa ekstrim atau cuaca ekstrim. Dalam konteks agama, tindakan ekstrim termasuk tindakan yang mendorong kekerasan misalnya: teroris yang meledakkan bom dengan tujuan membunuh diri dan sebanyak mungkin orang lain. Maupun pendapat (atau ajaran) ekstrim adalah pendapat yang tertutup dan bersikap kurang toleran terhadap agama atau kepercayaan lain. Bisa dikatakan juga bahwa banyak ajaran ekstrim menolak kemajuan teknologi dan modernisme di masyarakat karena dianggap sebagai sesuatu yang mengancam kesucian masyarakat.

Maka ada tiga sifat yang harus dimiliki untuk menentukan kalau ajaran itu ajaran ekstrim. Yaitu: mendorong tindakan keras, memiliki pikiran yang tertutup dan kurang toleran, dan memiliki sikap melawan modernisme.


Tujuan Penelitian:
Menurut Singelton dan Straits (1999:322), tujuan studi lapangan adalah untuk: sungguh paham apa yang obyek studinya berpikir dan apa yang mereka lakukan; untuk mengerti apa yang mereka mengerti; dan untuk benar-benar memperdalam budaya mereka. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk membuat gambaran deskriptif mengenai pondok pesantren Darur Ridwan, Parangharjo, Banyuwangi, Jawa Timur. Saya berharap laporan ini bermanfaat sebagai pengantar dunia pesantren yang sampai sekarang masih belum diketahui dan dipahami masyarakat secara umum di negara-negara Barat.

Dalam penelitian ini, saya ingin menjawab pertanyaan berikut ini: Siapa bersekolah di pondok pesantren Darur Ridwan dan mengapa mereka memilih pendidikan agama? Siapa pemimpin pondok pesantren Darur Ridwan dan mengapa dia mendirikan pondok pesantren Darur Ridwan? Apa yang diajar di pondok pesantren Darur Ridwan? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya berharap saya bisa menjawab satu pertanyaan lagi, yaitu, apakah pondok pesantren Darur Ridwan terlibat dalam pembinaan atau penyebaran ajaran Islam yang moderat atau ekstrim?

Metode Penelitian:
Metode penelitian yang digunakan dalam proyek studi lapangan ini adalah kualitatif studi kasus. Unsur-unsur penelitian kualitatif meliputi analysis yang terbuka dengan fokus penelitian yang bisa berubah dan banyak perhatian terhadap penggunaan wawancara mendalam.

Studi kasus adalah analisa kehidupan unit sosial, misalnya; (satu atau beberapa) kelompok, masyarakat, organisasi atau individu. Studi kasus kadang-kadang digambarkan sebagai metode ‘naturalistik’ yang paling mengutamakan teknik observasi langsung dalam jangka waktu yang lama dan terus-menurus, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian studi kasus sering digunakan untuk memperkenalkan masyarakat umum kepada gaya hidup yang unik dan/atau masalah-masalah yang dihadapi sebuah masyarakat and individu (Encyclopedia of Social Research, 1997).

Ada keragaman teknik observasi dan wawancara mendalam dalam rangka studi kasus. Teknik observasi yang saya gunakan dalam penelitian ini disebut observasi peserta dimana peneliti menjadi peserta dalam kegiatan-kegiatan kelompok yang akan diteliti. Untuk mengobservasi kehidupan masyarakat pondok pesantren Darur Ridwan sebagai peserta, saya harus menetap di pesantren tersebut. Akhirnya saya tinggal bersama keluarga K.H. Aslam dan para santrinya selama kurang lebih empat minggu (tetapi tidak terus menerus). Saya terlibat dalam aktivitas sehari-hari di pondok termasuk berpakaian jilbab, shalat lima kali sehari, pengajian baik di dalam pondok bersama para santri maupun di luar pondok, kelas mata pelajaran umum dan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler.

Sifat positif tentang teknik observasi peserta itu adalah bahwa peneliti lebih gampang diterima, orang yang mau diobservasi menjadi lebih terbuka, kelompok dapat diobservasi dalam lingkungan yang natural dan peneliti mampu memperdalam budayanya serta mengembangkan pengertian yang lebih lengkap mengenai kegiatannya. Namun demikian, juga ada sifat negatif yang bisa mempengaruhi kualitas hasil penelitian; misalnya, peneliti menjadi kurang objektif karena terlalu akrab atau ada hal-hal yang lupa diobservasi karena sudah kebiasaan.

Sebagai peserta kegiatan sehari-hari di pondok, teknik-teknik wawancara yang paling banyak digunakan adalah wawancara non-formal karena sifatnya flexibal, bebas terpimpin, lebih terbuka dan memang lebih cocok untuk suasana santai yang sering saya alami. Namun demikian, teknik wawancara formal juga digunakan dimana rancangan wawancara dipakai sehingga fokus pembicaraan telah di tentukan dengan jelas dan bisa diarahkan oleh peneliti untuk menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat.



BAB 2 – KAJIAN PUSTAKA

Unsur-unsur sebuah pesantren:
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985:18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid (2001:171), “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.”

Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. (Hasyim, 1998:39) Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.

a.Kyai:
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).

Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985:55).

b.Masjid:
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier 1985:49) Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.

c.Santri:
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.

Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).

d.Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.

Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.

Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.

Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985:45).

e.Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.

Menurut Dhofier (1985:50),  “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik…. merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999:144).

Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985:51).

Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia:
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.

Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1985:41, Zuhairini 1997:149)

Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak  (Dhofier 1985:41).

Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.

Menurut survai yang diselenggarakan kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa tahun 1942 mencatat jumlah madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1:


TABEL 1: Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survai kantor Urusan Agama)
Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren dan Madrasah
Jumlah Santri
Jakarta
167
14 513
Jawa Barat
1 046
69 954
Jawa Tengah
351
21 957
Tawa Timur
307
32 931
Jumlah:
1 871
139 415
(Dhofier, 1985:40)

TABEL 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan Departement Agama RI)
Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren
Jumlah Santri
Jakarta
27
15 767
Jawa Barat
2 237
305 747
Jawa Tengah
430
65 070
Tawa Timur
1 051
290 790
Jumlah:
3 745
675 364
(Hasbullah, 1999:140)

Dalam Tabel 2, dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa kemudian, jumlah pesantren di Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali. Statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada tahun 1978 yang mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem pesantren (Dhofier 1985:20).

Dari data-data tersebut harus kita bertanya, mengapa pesantren begitu sanggup menahan dan berkembang selama bertahun-tahun penuh dengan tantangan dan kesulitan yang dibuat baik pemerintah Belanda maupun pemerintah RI? Menurut saya, sistem pendidikan pondok pesantren mampu bertahan dan tetap berkembang karena siap menyesuaikan dan memoderenkan tergantung pada keadaan yang sebenarnya ada di Indonesia. Sejak awalnya, pesantren di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan tantangan karena dipengaruhi keadaan sosial, politik, dan perkembangan teknologi di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat umum. Oleh karena itu, pada masa ini di dunia pesantren terjadi pembangunan sistem pendidikan pesantren modern yang akan dibahasi dalam bagian berikut.

Sistem Pendidikan Pondok Pesantren:
Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini (1997:212), tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.

Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Qurán dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren (Dhofier, 1985: 28).

Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru (Dhofier, 1985: 28). Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.

Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).

Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999:155).



BAB 3 – SEJARAH SINGKAT PPMP  ‘DARUR RIDWAN’

 

Profil Singkat PPMP Darur Ridwan

Didirikan pada tahun 1989 oleh K.H. Aslam Suryono Hadi, Darur Ridwan merupakan sebuah pondok pesantren modern khusus putri. Sebagai alumni Pondok Modern Darursalam Gontor, K.H. Aslam memilih untuk mengikuti sistem pendidikan yang berasal dari Pondok Gontor tersebut, yaitu, sistem KMI di mana para santri mengikuti baik mata pelajaran agama maupun mata pelajaran umum.

Pesantren Darur Ridwan terletak di pinggir jalan raya desa Parangharjo, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dikelilingi oleh pohon-pohon, kebun berbunga dan sawah yang luas, suasana di pondok tersebut tenang dan damai. Tamu yang mengunjungi Darur Ridwan pertama masuk lewat lengkungan dengan tulisan PPMP ‘Darur Ridwan’ dan menghadap rumah keluarga kyai yang sederhana dan bersahaja. Nama pondok pesantren ini dipilih dan diberikan K.H. Aslam sendiri. “Kata darur ridwan berasal dari bahasa Arab. Arti daru adalah kampung dan arti ar-ridwan adalah rela. Jadi yang dimaksud dengan Darur Ridwan adalah kampung orang-orang yang rela karena allah semata. Atau dimaksud dengan Ar-Ridwan adalah nama malaikat penjaga surga, jadi Darurridwan artinya ‘kampung surga’”.

Pada tahun ajaran 2002-2003 enam puluh santri bersekolah di pesantren Darur Ridwan, semuanya berasrama dan ada kurang-lebih dua puluh Ustad dan Ustadah yang mengajar, baik ajaran agama maupun ajaran umum. Biaya pendidikan pesantren dan asrama sekitar  Rp. 80,000 per bulan, dengan tambahan Rp 50,000 pertama kali masuk dan ongkos keperluan-keperluan lain bagi seorang murid seperti buku text, seragam sekolah dan alat tulis.

Pesantren Darur Ridwan memiliki sawah wakaf seluas 610,000 da., yang diberikan kepada lembaga Darur Ridwan oleh kepala desa pada tahun 1995. Hasil dari sawah wakaf tersebut digunakan untuk keperluan pondok misalnya renovasi bangunan atau perlengkapan perpustakaan dan lain lain.

Tujuan pondok pesantren Darur Ridwan adalah untuk membina ketrampilan kemandirian para santri. Ada dua motto utama, yaitu “tanya dirimu sendiri” dan “bantu dirimu sendiri”. Menurut pekan perkenalan yang disampaikan kepada santri oleh Pak Aslam setiap awal tahun ajaran baru, “ajaran yang utama di dalam pondok pesantren ialah “self help”, atau “membantu diri sendiri”. Para santri diberitahu bahwa “pemuda-pemuda yang terdidik menolong diri sendiri dapat menghadapi masa depan dengan penuh harapan, jalan hidup terbentang luas di mukanya.” Motto ini dipeluk sepenuhnya oleh para santri dalam hidupnya sendiri dan juga dalam hidupnya sebagai anggota masyarakat pondok pesantren. Di pondok, oleh karena disiplin yang tinggi sekali, mereka sanggup menyelenggarakan sendiri kegiatan-kegiatannya dan tidak perlu diawasi para guru. Contohnya, dengan Organisasi Santri Pondok Pesantren Modern Putri (OSPPMP), santri menyelenggarakan sendiri aktivitas seperti olahraga, pemeliharaan lingkungan asrama, kesenian dan muhadloroh (berpidato).

Tujuan Berdirinya

Sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren mempunyai peran penting sekali dalam Islam karena ajaran Islam sangat mendorong dan menghargai orang yang mencari ilmu. Ini jelas disebut dalam Al Qurán, surat Al-Mujadalah, ayat 11:
“…Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa derajat…”
Dengan kalam Allah ini di belakang benaknya, KH Aslam mendirikan pondok pesantren Darur Ridwan dengan tujuan “mendidik dan mengajar putri-putri Islam agar menjadi manusia yang: 1.Berbudi tinggi,
2. Menguasai bahasa Qur’an (bahasa Arab) dan bahasa umum   (bahasa Inggris),
                                     3. Takwallah – takut kepada Allah,
4. Menegakkan agama Allah dan memberikan berita kepada orang tabligh, mengajar atau paling tidak menjadi contoh.”

Pada masa lalu, tidak ada pondok pesantren yang khusus putri. Memang, tidak ada kesempatan untuk belajar di pesantren sama sekali bagi kaum wanita. Baru pada tahun 1919, Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar di Jombang menjadi pesantren pertama di Indonesia yang mendirikan kelas khusus santri putri. (Hamim, 1998:8) Sekarang, kesempatan untuk wanita yang mau bersekolah mulai tingkat dasar sampai pendidikan tinggi sudah luas. Walaupun di wilayah Banyuwangi, sebelum Darur Ridwan, tidak ada pesantren khusus putri, hanya ada yang khusus putra atau campur. Maka Darur Ridwan merupakan satu-satunya pondok pesantren modern yang khusus putri di Banyuwangi. Itulah salah satu alasan K.H. Aslam mendirikan pondok pesantren khusus putri, alasan lain adalah karena:
1.”orang perempuan sudah 99.5% adalah calon-calon Ibu, maka seorang Ibu harus akhlaknya mulia; dan
2.Nabi Muhamada mewasiatkan pada waktu akan meinggal, peliharalah wanita karena wanita itu adalah tiang negara.”
Ini menunjukkan bahwa K.H. Aslam ialah seorang yang mendengarkan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan yang juga menghayati kepentingan pendidikan wanita pada masa kini di Indonesia.

Riwayat Pembangunan Fasilitas PPMP Darur Ridwan

Salah satu tujuan sistem pendidikan pesantren adalah untuk membina suasana kesederhanaan di dalam pondok. Di Darur Ridwan santri-santri tidur di kasur tipis di atas lantai, memiliki satu lemari kecil masing-masing, makan yang sederhana saja (biasanya nasi, sayur dan kerupuk, tempe, tahu dan daging seminggu sekali – walaupun ada kesempatan untuk masak tambahan sendiri kalau mau), mencuci dan memelihari tempat asramanya sendiri. Gedung dan fasilitas di Darur Ridwan juga sangat sederhana. Walaupun keadaan fasilitas yang kurang lengkap itu tidak sengaja.

Dari hasil survai yang saya berikan kepada para santri, saya bisa melihat bahwa soal fasilitas yang kesederhanaannya agak keterlaluan merupakan salah satu hal utama bagi para santri. Ketika ditanya, “kalau ada yang bisa dirubah dalam pondok pesantren ini, apa yang kamu mau dirubah?”, hampir setiap santri menjawab dengan sebutan mengenai bangunan yang perlu ditambah dan dilengkapi. “Saya mau pondok ini tambah bangunannya dan tambah maju.” “Saya mau ruang kelas diperbaiki, kamar mandi diperbanyak dan perpustakaan dilengkapi.” Namun, ternyata soal fasilitas yang kurang bukan hanya hal utama bagi para santri, tetapi juga bagi Pak Kyai Aslam sendiri. “Yang menjadi kendala bagi saya di dalam pondok pesantren ini adalah kurangnya fasilitas.”

Persoalan ini menjadi masalah ketika kurang fasilitas membatasi kemampuan santri-santri untuk belajar. Perkembangan bangunan dan fasilitas di pondok pesantren Darur Ridwan merupakan proses yang panjang dan memerlukan banyak bantuan dari masyarakat lokal. Santri pertama yang belajar mengaji dengan Pak Kyai Aslam menginap di ruang depan di rumah Pak Aslam sendiri. Pada tahun 1988, musholla mulai dibangun di belakang rumah tetapi perlu waktu satu tahun sampai musholla sudah siap dipakai. Pembangunan musholla menyimbulkan tahap pertama dalam proses membangun fasilitas-fasilitsa pondok pesantren Darur Ridwan dan hari peresmiannya, yaitu tanggal 31 July 1989, merupakan hari ulang tahun pesantren yang pertama. Sesudah upacara peresmian musholla, dalam waktu satu tahun, asrama untuk para santri sudah dibangun dan diberi nama Sunan Kalijaga. Setelah itu, setiap beberapa tahun ada bangunan baru, termasuk: gedung Sunan Gunung Jati pada tahun 1993 yang membentuk tiga ruang kelas; Sunan Ampel pada tahun 1996 yang membentuk tempat asrama lain bagi para santri dan koperasi; gedung Sunan Malik Ibrahim pada tahun 1997 yang membentuk tempat asrama bagi para guru (ustadah); gedung Sunan Bonang pada tahun selanjutnya, 1998, yang membentuk aula besar yang terletak di depan lapangan olahraga; dan akhirnya gedung Sunan Giri pada tahun 2002 yang membentuk dua ruang kelas serta satu ruang kantor guru.

Seperti yang sudah dapat kita lihat, ada tema untuk nama-nama yang diberi gedung pondok pesantren. Semua nama gedung-gedung diambil dari anggota golongan yang terkenal sebagai Walisongo.Walisongo tersebut adalah sembilan orang yang mendapat gelar Sunan sebagai penasihat dan pembantu raja pada kerajaan Demak. Mereka adalah orang-orang saleh yang tingkat takwanya kepada Allah sangat tinggi dan yang diabdikan untuk pendidikan dan dakwah Islam. Anggota Walisongo lain yang belum disebut diatas, tetapi akan disebut setelah ada tambahan bangunan berikutnya,  termasuk: Sunan Derajat, Sunan Kudus dan Sunan Muria (Zuhairini, 1997:138). Nama-nama Walisongo dipilih sebagai nama yang pantas untuk gedung pondok karena Walisongo merupakan kelompok orang yang sangat penting dalam sejarah Islam di Indonesia dan juga hubungannya dengan pondok pesantren di Jawa sangat dekat. Sunan Maulana Malik Ibrahim berhasil mencetak kader muballigh selama dua puluh tahun dan wali-wali lainnya, sebagai murid Sunan Maulana Malik Ibrahim, degembleng (trained) dengan pendidikan sistem pondok pesantren (Zuhairini, 1997:138). 

Soal dana merupakan urusan yang sering membuat pengurus pondok pesantren kecil pusing dan memang situasinya tidak berbeda di Darur Ridwan. Biaya membangun gedung dan fasilitas pondok tersebut sangat tinggi. Jadi dapat dari mana dana untuk membangun gedung-gedung tersebut? Di pondok pesantren Darur Ridwan, banyak sekali bantuan diterima dari masyarakat lokal dan dari jaringan kawan pondok termasuk keluarga santri, alumni pondok dan kawan Pak K.H. Aslam. Sebagai contoh; biaya membangun gedung terbaru Sunan Giri yang baru diresmikan tanggal 31 July 2002, kurang lebih tiga puluh tiga juta rupiah. Dalam contoh ini, hanya tiga belas juta dari jumlahnya merupakan pendermaan dan bantuan dari masyarakat. Sisanya, yaitu dua puluh juta, didermakan oleh Pak Habib Alwi Abubakar yang berasal dari Mekkah, Arab Saudi. Pak Alwi Abubakar tinggal di Banyuwangi pada masa kecilnya jadi mempunyai hubungan dekat dengan masyarakat Jawa Timur. Dia sudah bekerja bertahun-tahun membawa dana dari Mekkah untuk membantu membangun tempat ibadah dan pendidikan Islam di Jawa Timur. Tanpa bantuan dari Pak Alwi Abubakar, proyek membangun gedung Sunan Giri itu sulit dilaksanakan.


BAB 4 – PERAN SANTRI DI PPMP DARUR RIDWAN

Identifikasi santri
Suasana di pondok pesantren yang menerima santri kalong memang lain dari keadaan di pondok pesantren yang hanya menerima santri mukim, seperti Darur Ridwan. Ternyata ada banyak manfaat untuk santri-santri kalau wajib berasrama karena suasana di pondok pantas untuk santri yang mau rajin belajar dan juga tidak harus kuatir soal kemananan. Kewajiban berasrama itu juga memperkuat keakraban masyarakat pondok dan mempermuda tugas kyai dalam pembinaan dan pendorongan para santrinya.

Supaya saya lebih sanggup menjawab pertanyaan utama dalam penelitian ini (yaitu, apakah pondok pesantren membina ajaran Islam ekstrim?), saya perlu menggambarkan siapa itu yang bersekolah di pesantren Darur Ridwan? Apakah mereka orang yang akan gampang dipengaruhi ajaran ekstrim karena keadaan sosial dan ekonominya? Apakah mereka berasal dari daerah yang jauh sehingga mereka jarang pulang dan tidak begitu dipengaruhi orangtua atau keadaan di rumah? Apakah mereka memilih sendiri untuk berasrama di pondok pesantren dan apa alasannya? Apakah ada yang keluar sebelum lulus dan mengapa? Dan apa cita-cita mereka?

a) Para santri berasal dari mana?
Para santri yang mondok di Darur Ridwan banyak berasal dari desa-desa di kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Ini berarti bahwa kapan-kapan kalau ada keperluan, orang tua santri bisa mengunjungi anaknya di pondok atau santri-santri bisa pulang. Biasanya kalau orang tua santri datang ke pondok mereka membawa makanan banyak untuk anaknya dan teman-temannya dan hanya main di pesantren selama beberapa jam saja. Jika santri pulang selama waktu semester sekolah masih berlanjut, biasanya alasannya adalah karena ada keperluan penting, misalnya kalau sakit dan harus mengambil obat dari rumah, atau karena ada upacara keluarga seperti upacara pernikahan dan lain-lain.

Santri-santri yang berasal dari daerah jauh seperti Surabaya, Bali dan Sulawesi tidak seberuntung santri lain yang berasal dari Kabupaten Banyuwangi sendiri. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk pulang, kecuali pada waktu musim libur, yaitu selama lima puluh hari untuk bulan Ramadan (sekitar bulan Nopember), dan selama sepuluh hari pada bulan Robiul’awwal (sekitar bulan Juni). Pada tahun ajaran 2002-2003 ini ada delapan santri yang berasal dari Bali, satu yang berasal dari Sulawesi Selatan dan beberapa lain yang berasal dari luar kabupaten Banyuwangi (tetapi masih di dalam wilayah Jawa Timur, misalnya Surabaya).

b)Pengaruh orangtua:
Memang sudah jelas bahwa pada umumnya, para pemuda-pemudi sangat dipengaruhi oleh orangtuanya. Dalam konteks pondok pesantren, kenyataan ini sangat penting kalau ingin tahu siapa yang memilih pendidikan pesantren daripada pendidikan sekolah umum. Misalnya, kalau seorang santri berasal dari keluarga yang kaya dan sudah terbiasa dengan kehidupan yang mewah dan nyaman, mungkin santri tersebut akan merasa keberatan kalau bersekolah di pondok pesantren yang mementingkan kesederhanaan. Atau kalau orangtua santri adalah orang yang sangat aktif dalam urusan masyarakat, bidang keagamaan dan sangat rajin beragama, maka si santri tersebut mungkin akan lebih cepat memeluk ajaran yang dia temukan di pondok karena sudah terbiasa.

Dalam survey saya bertanya tentang pekerjaan bapak dan ibu santri. Menurut data yang dikumpulkan dari survey saya, hampir 50% Ibu santri bekerja sebagai Ibu rumah tangga. Yang lain bagi Ibu-Ibu santri termasuk pedagang (20%), petani (12%), penjahit (9%), wiraswasta (7%) dan lain lain. Pekerjaan yang paling popular bagi Bapak santri adalah wiraswasta dengan 36% yang bekerja dalam bidang itu. Kerjaan lain termasuk petani (22%), pedagang (19%), guru (6%) dan lain lain. Data-data ini menunjukkan bahwa pada umumnya, kerjaan yang paling sering dikerjakaan orang tua para santri (selain dari Ibu rumah tangga) termasuk petani, pedagang dan wiraswasta. Dari informasi ini saya menarik kesimpulan bahwa para santri yang bersekolah di Darur Ridwan berasal dari keluarga yang pada umumnya dapat disebut kelas menengah ke bawah.

Dalam survey tersebut saya juga bertanya tentang keterlibatan orangtua santri dalam organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Menurut hasilnya, sekitar seperdua para orangtua santri (atau secara lebih spesifik, para ayah santri) aktif dalam organisasi Islam, dan sebagian besar memilih NU. Sepertinya hanya kebetulan bahwa mayoritas orangtua santri yang aktif dalam organisasi Islam memilih NU, dan itu organisasi yang juga dipilih Pak K.H. Aslam karena pondok Darur Ridwan terbuka untuk siapa saja yang mau masuk, tanpa memihak partai politik atau organisasi agama yang diikutinya. Kenyataan ini bisa dijelaskan karena popularitas NU di daerah-daerah perdesaan sangat tinggi dan mayoritas santri berasal dari daerah perdesaan.

c) Mengapa santri memilih untuk bersekolah di pesantren?
Ternyata di Darur Ridwan mayoritas santri memilih sendiri pendidikan pesantren, dengan dorongan dari orangtua mereka. Kenyataan ini sangat mempengaruhi suasana di pondok karena itu berarti bahwa santri-santri senang dan siap menghadapi tantangan kehidupan di pondok pesantren. Walaupun, kalau sudah dikatakan begitu, perlu ditanyai, mengapa para pemudi ini lebih memilih sekolah agama daripada sekolah umum?

Dari hasil survey yang saya tunjukkan kepada para santri di Darur Ridwan, dapat saya lihat bahwa aspek-aspek pendidikan pesantren modern yang paling disukai santri adalah kesempatan yang diberikan untuk memperdalamb aik pelarajan agama maupun pelajaran umum. Menurut salah satu santri kelas 3, “pendidikan pesantren lebih baik karena di pesantren ilmunya bisa digunakan untuk masalah akhirat dan duniawi.”

Hasil yang paling menarik dari survey tersebut adalah banyak santri berpendapat bahwa sekolah umum tidak mendidik muridnya mempunyai akhlak yang kuat.
“Saya takut sekolah di luar (di sekolah umum) karena saya takut bertambah nakal dan terjerumus dalam bujukan syetan.”

“Saya memilih sekolah pesantren karena sekolah umum hanya dapat memberi pengetahuan duniawi.”

Jawaban semacam ini memang mengirim pesan jelas kepada pemerintah dan ketua-ketua sekolah umum!

Aspek-aspek pendidikan pondok pesantren lain yang mempengaruhi santri untuk memilih sistem pendidikan pesantren termasuk: kedisiplinan, yang mendorong santri-santri menjadi lebih terfokus kepada pelajarannya; keamanan, yang rajin dijaga dan sangat penting bagi semua penghuni pondok; dan pelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris. Santri-santri mementingkan pelajaran bahasa Arab untuk mengaji dan memahami ayat-ayat kitab suci dan bahasa Inggris karena bahasa Inggris adalah bahasa internasional yang sangat bermanfaat dalam dunia modern ini.

Pada umumnya, informasi yang saya dapat dari studi kasus ini dan kesimpulan yang saya ambil didorong oleh kesimpulan yang diambil oleh Dhofier dalam penelitiannya sendiri. Menurut Dhofier, (1985:52) seorang santri pergi dan menetap di suatu pesantren karena berbagai-bagai alasan:
1.Ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kyai.
2.Ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren-pesantren yang terkenal;
3.Ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya.

d) Statistik-statistik jumlah santri
Pak K.H. Aslam mengatakan bahwa jumlah atau banyak sedikitnya santri bukan masalah bagi dia sebagai pendiri pondok pesantren. Yang penting beliau dapat memberikan pendidikan dan pelajaran dengan sebaik mungkin sesuai dengan program, dan beliau mempunyai semboyan: “Walaupn dikelas hanya ada satu atau dua murid, guru harus mengajar dengan persiapan seperti mengajar murid empat puluh orang.”

Pada tahun 1989, santri yang pertama datang untuk belajar dari K.H. Aslam  berjumlah dua puluh. Sejak tahun itu, jumlah santri telah bertambah sedikit demi sedikit sampai sekarang ada enam puluh santri di pesantren Darur Ridwan. Rata-rata ada kurang lebih dua puluh santri baru yang diterima setiap tahun ajaran dan kurang lebih enam belas yang keluar dari pondok (baik yang lulus maupun yang keluar sebelum lulus). Statistik-statistik jumlah santri yang keluar dan masuk pesantren Darur Ridwan per tahun dapat dilihat di tabel 3.





TABEL  3 – Data santri di PPMP Darur Ridwan

Tahun Ajaran:
Jumlah Santri Pada Awal Tahun
Jumlah Santri Yang ‘Drop-Out’
Jumlah Santri Pada Akhir Tahun
Jumlah Alumni Per Tahun
1989 – 1990
-
-
20
-
1990 – 1991
-
-
25
-
1991 – 1992
-
-
39
-
1992 – 1993
67
24
43
2
1993 – 1994
59
12
47
5
1994 – 1995
62
10
52
9
1995 – 1996
57
13
44
6
1996 – 1997
63
13
50
2
1997 – 1998
67
15
52
5
1998 – 1999
63
6
57
7
1999 – 2000
71
16
55
5
2000 – 2001
65
11
54
2
2001 - 2002
70
9
61
6


e) Cita-cita santri
Dari data yang dikumpulkan di tabel diatas dapat kita lihat bahwa jumlah santri yang lulus naik dan turun setiap tahun, dari paling sedikit, dua, sampai paling banyak, sembilan yang lulus berijazah pada tahun 1995. Yang penting diketahui di sini adalah apa rencana para santri kalau sudah lulus dari pondok pesantren?

Ternyata lebih dari 90% santri mempunyai keinginan untuk melanjutkan sekolahnya di universitas. Walaupun sebagian besar mengakui bahwa ada kemungkinan keinginannya tidak dapat dicapai karena masalah biaya kuliah yang pada saat ini sangat mahal. Dari bagian santri yang tidak ingin kuliah, rencananya adalah  untuk membantu orangtua di rumah atau langsung mencari pekerjaan.

Dengan soal pekerjaan, mayoritas santri bercita-cita mendapat pekerjaan dalam bidang perguruan dan pendidikan karena di pesantren Darur Ridwan mereka dididik biar nanti bisa mendidik. Bidang lain yang tertarik bagi beberapa santri termasuk: jahit, kebankan, keperawatan, parawisata, komputer dan perdagangan. Memang menarik bahwa tidak ada satupun santri yang bilang bahwa cita-citanya adalah untuk menjadi Ibu rumah tangga, walaupun itu pekerjaan kebanyakan Ibunya sendiri.

f) Mengapa santri keluar sebelum lulus?
Dari statistik-statistik di dalam tabel 3 di atas, dapat kita lihat bahwa jumlah santri yang ‘drop-out’, atau keluar dari pesantren sebelum lulus, cukup tinggi. Menurut para
santri, ada beberapa alasan untuk mengapa santri tidak melanjutkan pelajarannya. Yaitu:
1. karena kurang mampu membayar biaya sekolah dan asrama yang lebih mahal dari pada sekolah umum;
2. karena santri sudah siap menikah (ada kasus pernikahan baik yang diatur oleh orangtua santri maupun yang diatur oleh santri itu sendiri dengan persetujuan orang tuanya);
3. karena santri tidak belum siap atau tidak kuat mengikuti  pelajaran dan peraturan pondok pesantren untuk alasan pribadi, misalnya tidak merasa kerasan atau belum siap keluar dari rumah dan bimbingan orang tua;
4. karena masalah dengan keluarga, misalnya ada saudara yang meninggal;
5. karena tidak naik kelas jadi tidak berniat untuk melanjutkan sekolahnya;
6. karena mau pindah ke pondok pesantren yang lain atau melanjutkan sekolahnya di sekolah umum.

Ternyata, paling banyak santri yang keluar sebelum lulus dari Darur Ridwan melanjutkan sekolah di sekolah umum atau tidak melanjutkan sekolahnya sama sekali. Dari yang tidak melanjutkan sekolahnya, ada yang tinggal di rumah saja, yang langsung bekerja atau menikah.


Peran santri dalam masyarakat
a) Masyarakat Umum
Menurut Prof. Azyumardi Azra (2001:80), santri memainkan peran penting dalam kecenderungan islamisasi atau re-islamisasi di kalangan umat Islam Indonesia yang, menurut dia, telah terlihat dalam dua dekade terakhir ini. Proses ‘kebangkitan Islam’ ini diindikasikan oleh bertambahnya jumlah masjid dan tempat ibadah lainnya di Indonesia, pertumbuhan jumlah orang yang pergi haji ke Arab Saudi, dan berdirinya organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga Islam baru, seperti Bank Islam dan Asuransi Islam. Istilah selain dari kebangkitan Islam yang sering dipakai di Indonesia untuk menggambarkan kecenderungan tersebut adalah ‘santrinisasi’.

Proses santrinisasi tersebut mulai dengan santri yang mengalami re-islamisasi selama pendidikannya di pesantren karena proses penanaman ajaran dan praktik-praktik Islam lebih intens di lingkungan sistem pendidikan pesantren daripada sistem pendidikan lain. Selanjutnya, santri-santri membawa pulang ilmu dan pelajaran yang mereka dapat di pesantren dan menyampaikan kepada keluarga dan orang tuanya. Menurut teori Prof Azyumardi Azra (2001:80), santri bahkan “mengajarkan kepada orangtua mereka yang acapkali hanya mengetahui sedikit tentang Islam. Umumnya orang tua merasa malu akibat ketidaktahuan mereka mengenai ajaran dan praktik Islam tertentu. Akibatnya, agar tidak mengecewakan sang anak, mereka mulai mempelajari Islam.”

Salah satu tujuan sistem pendidikan pondok pesantren Darur Ridwan adalah untuk menyiapkan para santri untuk kehidupannya dalam masyarakat setelah sudah lulus dari pesantren. Para santri dididik biar memiliki keterampilan kemandirian dan biar mereka menghayati tugasnya dan perannya menurut ajaran Islam di dalam masyarakat sebagai perempuan, Ibu, isteri, tetangga, pekerja dan seorang alim. Seperti yang sudah ditulis di bagian dahulu, K.H Aslam mendirikan pesantren Darur Ridwan dengan tujuan untuk “mendidik dan mengajar putri-putri Islam agar menjadi manusia yang…..menegakkan agama Allah dan memberikan berita kepada orang tabligh, mengajar atau paling tidak, menjadi contoh.” Maka, teori santrinisasi tersebut dipraktikkan di pondok pesantren Darur Ridwan. Setiap kali pulang kampung, yaitu dua kali setahun untuk musim libur, santri-santri membawa ilmu barunya ke rumah dan tentu omong sama orang tuanya, saudaranya dan temannya tentang apa yang mereka lakukan di pondok dan apa yang pernah dipelajari. Namun, menurut salah satu santri, “saya hanya mau bicara sama teman dan keluarga saya tentang hal-hal agama kalau ditanyai dulu.” Juga, ketika lulus dari pesantren, santri-santri sudah siap mulai berperan sebagai seorang alim yang ingin bekerja dengan masyarakat Islam untuk memperkuat dan menyebarkan agama Islam di Indonesia atau paling tidak “menjadi contoh”.

Sekolah-sekolah pendidikan Islam “tidak hanya memberi kontribusi pada perbaikan pendidikan Islam di Indonesia, melainkan juga pada proses santrinisasi masyarakat Muslim.” (Azra, 2001:79) Namun, saya merasa penting untuk menyebut di sini bahwa peran santri dalam proses kebangkitan Islam tersebut walaupun penting, juga terbatas dan beberapa macam fakta lain seperti keadaan politik di Indonesia dan di arena internasional yang mempengaruhi perkembangan agama Islam di Indonesia.

b) Masyarakat lokal
Di atas saya sudah menarik kesimpulan bahwa peran santri dalam masyarakat adalah sebagai salah satu bagian yang mempengaruhi proses kebangkitan Islam di Indonesia karena mereka mampu menyampaikan pelajaran yang mereka dapatkan di pesantren untuk masyarakat. Sekarang, secara lebih spesifik, saya mau menyampaikan observasi saya mengenai peran santri dalam masyarakat lokal. Maksud saya, masyarakat yang menetap di desa Parangharjo, yaitu, tetangga-tetangga pondok.

Ternyata pada umumnya, hubungan di antara santri Darur Ridwan dan masyarakat yang menetap di sekeliling pesantren di desa Parangharjo itu kurang. Selain dari tetangga-tetangga yang bersaudara dengan keluarga kyai Aslam Hadi dan oleh karena itu sering main atau mengajar di pondok dan pemilik toko-toko kecil di desa, jarang ada interaksi di antara para santri dan masyarakat lokal. Pada umumnya, santri-santri jarang sekali keluar dari pondok pesantren dan akibatnya tidak begitu kenal dan kurang terlibat dalam kehidupan masyarakat lokal. Dari pandangan lain, masyarakat lokal juga kurang terlibat dalam urusan pondok pesantren.

Maka kenyataan ini membuat saya ingin tahu, mengapa begitu? Jawabannya cukup sederhana. Tujuan santri bukan untuk bergaul dengan tetangga-tetangga pondok atau bekerja untuk mempengaruhi pendapat masyarakat sehingga ada lebih banyak yang masuk agama Islam, tetapi untuk belajar dan memperdalam ilmu ajaran Islam. Terletaknya pondok pesantren di tengah masyarakat desa Parangharjo tidak begitu mempengaruhi masyarakat tersebut dan ternyata peran santri dalam masyarakat lokal desa Parangharjo juga kurang penting.

Profil kehidupan sehari-hari santri
Budaya yang diciptakan dalam sebuah pondok pesantren memang sangat unik. Setiap pondok memiliki budaya dan suasana yang cukup berbeda walaupun tentu ada banyak kesamaan juga. Budaya ini terutama dibuat dari fakta lingkungan pondok yang sangat terbatas, sifat kyai dan sifat para santri. Oleh karena lingkungan pondok sangat terbatas dan banyak waktu harus dilewatkan di dalam satu tempat itu, maka harus ada kehormatan dan kesabaran yang tinggi sekali. Santri-santri harus bisa bekerja sama dan saling paham untuk menciptakan suasana yang tenang dan cocok untuk belajar dan beribadah.

Tidak ada banyak keragaman bagi para santri dalam kehidupan sehari-hari di pondok pesantren Darur Ridwan. Jadwal sekolah dan kegiatan-kegiatan sehari-hari tetap, jarang berubah. Jadwal harian santri diatur menurut jam salat karena salat lima kali sehari pada waktu tertentu merupakan kewajiban bagi kaum muslim.

Kegiatan-kegiatan dasar yang memenuhi hari-hari para santri di pesantren Darur Ridwan pada umumnya bisa dikelompokkan ke dalam empat bagian, yaitu:
  1. kegiatan pribadi, misalnya mandi, mencuci pakaian, membersihkan kamar, makan, membaca, mengobrol dengan teman, dan istirihat;
  2. kegiatan belajar, termasuk waktu belajar di kelas, mengaji di musholla dan mengerjakan PR atau belajar sendiri;
  3. kegiatan sembahyang; dan
  4. kegiatan ekstrakurikuler, misalnya olahraga yang dilakukan dua kali seminggu, pramuka, kesenian atau tugas-tugas sebagai ketua bagian OSPPMP.
Kegiatan-kegiatan tersebut bisa dilihat di jadwal harian dasar santri di bawah:

Jadwal Harian Dasar Santri

4.15     bangun, wudlu
4.30     salat Subuh
4.40     pengajian dipimpin Pak Kyai
5.30     mandi, membersihkan kamar…dll
6.15     sarapan
6.45     masuk ruang kelas
7.00     masuk kelas pertama
12.00 –  kelas terakhir selesai
12.15 –  wudlu
12.30 –  salat Dhuhur
12.45 –  makan siang
13.00 –  kelas
13.45 –  waktu bebas/belajar
15.00 –  salat Ashar
15.15 –  pengajian
16.00 –  kegiatan ekstrakurikuler
17.00 –  mandi, wudlu…dll
17.30 –  salat Maghrib
17.45 –  pengajian
19.00 –  salat Ishya
19.30 –  makan malam
19.45 –  waktu bebas/belajar
22.00 –  tidur


Salah satu aspek kehidupan sehari-hari para santri adalah ketidakperluannya untuk diawasi atau dikelola oleh para guru atau Pak Kyai. Tentu saja kadang terjadi kasus spesifik di mana Pak Kyai perlu ikut campur, tetapi pada umumnya kedisiplinan para santri di Darur Ridwan sangat tinggi sehingga saya tidak pernah melihat sorang santri diperintah mengerjakan sesuatu yang seharusnya dia sudah kerjakan.

Bahwasanya, ada dua alasan bagi para santri untuk mengelola sendiri kegiatan sehari-harinya. Pertama, peraturan-peraturan pondok dan jadwal sehari-hari yang sangat ketat berarti santri cuma tinggal ikut kegiatan-kegiatan yang dimasukkan jadwal untuk hari tertentu. Maka tidak susah untuk dikelola.

Kedua, pelajaran ketrampilan kepemimpinan yang diperkenalkan lewat Organisasi Santri Pondok Pesantren Modern Putri (OSPPMP). OSPPMP terdiri dari bagian-bagian yang perlu dikelola dalam kehidupan sehari-hari di pondok seperti administrasi, keamanan, kegiatan olahraga dan lain-lain (dafter lengkap bagian-bagian OSPPMP dipertunjukkan dalam lampiran). Lewat OSPPMP santri diberikan kesempatan untuk menjadi ketua salah satu bagian OSPPMP dan mengalami sendiri seperti apa tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin. Dengan adanya santri sebagai pemimpin, rasa saling hormat di antara anak kelas bawah dan anak kelas atas harus tinggi, dan memang begitu di pesantren Darur Ridwan. Akibatnya Pak Kyai tidak dapat masalah kalau membiarkan para santri mengatur dan mengelola kegiatan-kegiatan dan kehidupannya sendiri.

Aspek lain kehidupan sehari-hari bagi para santri di pesantren Darur Ridwan adalah kurang banyak keragaman dalam kegiatan yang bisa dilakukan selama waktu istirihat tersebut dan kurang banyak kesempatan untuk bergaul dengan orang dari luar pondok. Maksud saya adalah, kalau santri tidak lagi mandi, makan, membersih-bersihkan atau sholat, biasanya mereka lagi belajar. Dan kalau tidak ada tamu yang datang ke pondok untuk bertemu dengan para santri (seperti saya!), selama mereka menetap di pondok, mereka tidak pernah akan bergaul dengan orang selain santri-santri lain, para Ustad dan keluarga Pak Kyai.

Budaya ini saya mencoba membandingkan dengan kehidupan sehari-hari pemuda-pemudi di luar pondok pesantren. Di dalam pondok pesantren, kegiatan hiburan bagi santri sangat terbatas. Mereka bisa membaca majalah dan buku yang dibawah dari rumah, mendengarkan musik dan radio, mengobrol dengan temannya atau unuk anak kelas enam, kadang-kadang menonton televisi di rumah Pak Kyai pada akhir minggu. Dibandingkan dengan pemuda-pemudi yang tinggal di luar pondok pesantren yang menikmati kehidupan yang lebih bebas di  mana ada televisi, mainan komputer, internet, bioskop, museum, tempat wisata seperti taman rekreasi, mall dan kesempatan untuk jalan-jalan.

Kehidupan sehari-hari para santri yang saya menggambarkan di sini adalah gaya hidup yang sangat berbeda bagi seorang mahasiswa yang berasal dari Australia. Maka saya sangat memahami bahwa kondisi budaya pondok pesantren sangat berbeda dari budaya saya sendiri. Walaupun kesimpulan saya dari observasi saya selama saya tinggal di Darur Ridwan adalah bahwa kehidupan para santri sangat ketat dan disiplin, memang ada alasan yang relevan demi menjaga kesucian pesantren tersebut.



BAB 5- PERAN KYAI DI PPMP DARUR RIDWAN

Riwayat Hidup KH Aslam Suryono Hadi:
K.H. Aslam Suryono Hadi dilahirkan pada tanggal 9 November 1942, di Banyuwangi Jawa Timur. Ibunya bernama Jawiya, dia adalah Ibu rumah tangga yang juga mencari uang tambahan lewat kerjaan sebagai pedagang. Bapaknya, yang bernama Mishadi, meninggal dunia pada tanggal 9 Juni 1995 dan kuburannya terletak di belakang pondok pesantren Darur Ridwan. Aslam Hadi tidak keturunan keluarga kyai atau ulama, tetapi orang tuanya mendorong dia ketika dia mulai berminat belajar dan memperdalam agama Islam. Sebagai anak pertama, Aslam Hadi mempunyai empat adik saudara, semuanya perempuan.

Pada waktu masih bersekolah di SMPN, Aslam membaca pengumuman mengenai ujian masuk Pondok Modern Gontor (PM Gontor). Pada waktu itu, dia paling tertarik kepada mata pelajaran bahasa Inggris yang diajar di PM Gontor karena belum ada pondok pesantren lain yang mengajar bahasa Inggris. Dengan izin serta dorongan dari orang tuanya, K.H. Aslam mengikuti ujian masuk PM Gontor. Dari 600 putera yang beraplikasi, hanya 60 berhasil diterima pada tahun itu, dan Aslam Hadi ada di antara yang berhasil.

K.H. Aslam masuk PM Gontor di desa kecil Gontor yang terletak di sebelah selatan kota Ponorogo Jawa Timur pada tahun 1960 ketika dia berumur enam belas tahun. Dia mengikuti sekolah KMI di PM Gontor selama lima tahun. Sesudah tamat dari sekolah KMI-nya, Aslam Hadi berhasil diterima untuk melanjutkan pendidikannya di Institut Pendidikan Darussalam (IPD). Dia mengambil sarjana mudah, jurusan pendidikan, walaupun pada saat itu K.H. Aslam belum mempunyai rencana untuk mendirikan sebuah pondok pesantren. Jurusan lain yang juga diberikan termasuk syariah, Da’wah (misionaris), dan Usuluddin. Ketika K.H. Aslam berhasil diterima untuk kuliah di IPD, dia mendapat kesempatan untuk kuliah tanpa biaya, tetapi wajib mengajar di sekolah KMI. Jadi Aslam Hadi kuliah di IPD sambil mengajar di sekolah KMI selama tiga tahun.

Akhirnya, sesudah delapan tahun menetap di PPM Gontor, Aslam S. Hadi tamat berijasah pada tahun 1967, pulang kampung dan langsung menikah dengan anak seorang tetangga yang bernama Anisah.. Dia tinggal bersama isterinya di rumah orang tuanya dan bekerja berdagang beras dan gabah selama beberapa tahun. Sekarang Pak K.H. Aslam dan Ibu H. Aslam punya lima anak serta enam anak cucu. Semua anaknya bersekolah di pondok pesantren, termasuk tiga yang masuk PM Gontor.  Keluarga K.H. Aslam tersebut sangat terlibat dalam urusan-urusan dan pengelolaan pesantren Darur Ridwan. Ada yang mengajar, membantu masak nasi untuk para santri, mengelola sawah wakaf pondok dan macam-macam urusan lain.

Pada tahun 1971, K.H. Aslam mulai karirnya dalam bidang politik. Dia bekerja sebagai wakil ketua NU di Singojuruh, Banyuwangi selama tiga tahun. Selanjutnya, dia naik dan bekerja sebagai ketua NU di Singojuruh selama delapan tahun. Habis itu dia pindah dan mewakili NU di Songgon selama dua tahun. Pada saat yang sama, K.H. Aslam juga mewakili masyarakat sebagai anggota DPRD II Kabupaten Dati II Banyuwangi.

Pak K.H. Aslam naik haji bersama istrinya pada tahun 1981 dan akhirnya, pada tahun 1988, Aslam S. Hadi mengambil keputusan bersama isterinya untuk mendirikan pondok pesantren. Maka, sejak perdirian pondok modern putri Darur Ridwan, K.H Aslam bekerja terus untuk membangun pondoknya dan mendidik santrinya.

Peran Kyai di dalam Pondok Pesantren
Dalam budaya pondok pesantren, seorang kyai memiliki berbagai macam peran, termasuk sebagai pengasuh pondok, guru dan pembimbing bagi para santri serta ayah dalam keluarganya sendiri yang juga menetap di pondok. Tugasnya sebagai pengasuh pondok termasuk mencari dana bagi pondok, menghadapi santri baru dan mengerjakan urusan-urusan lembaga pesantren Darur Ridwan. Juga sebagai pengasuh, K.H. Aslam berjuang untuk perkembangan dan kemajuan pondok pesantrennya biar tidak ditinggalkan oleh kemajuan dalam masyarakat umum. Misalnya, pada saat ini, K.H. Aslamsedang bekerja untuk memperkenalkan program baru dalam pondok bagi santri yang tertarik kepada belajar komputer. K.H. Aslam memang mengambil sikap yang lapang dalam menyelenggarakan modernisasi pondok pesantrennya. Pendapat ini pula ditarik oleh Dhofier (1985:174), yang pada umumnya sangat positif mengenai keterampilan para kyai dalam “memperbarui sistem pendidikan pesantren tanpa meninggalkan aspek-aspek positif daripada sistem pendidikan Islam tradisoinal.”

Selain dari perannya sebagai pengasuh pondok, peran kyai yang bisa disebut paling penting adalah sebagai guru dan pembimbing bagi para santri. Menurut salah satu santri, “peran kyai dalam pondok pesantran adalah untuk memberi motivasi kepada santrinya dan membentuk putri-putri untuk menjadi wanita yang sholehah dalam bidang keluarga dan bangsa.”

Hubungan di antara kyai dan para  santri merupakan bagian yang penting sekali dalam peran kyai sebagai guru dan pembimbing. Keadaan dan suasana hubungan kyai dan santri memang berbeda di antara satu pondok dengan pondok lain karena hubungan tersebut sangat tergantung pada sikap kyai. Kalau belum mengalami sendiri budaya pondok pesantren, memang gampang untuk menarik kesimpulan bahwa walaupun lingkungan pondok sangat terbatas sehingga penghuni pondok selalu bertemu dan bergaul, oleh karena pesantren membentuk lembaga pendidikan resmi yang membina kehormatan tinggi untuk ustad, ustadah dan kyainya, hubungan di antara para guru tersebut dan muridnya akan sangat formal dan tidak begitu akrab. Namun, kenyataan yang ada di lapangan berbeda.

Dari pengalaman saya ketika saya mondok di PPMP ‘Darur Ridwan’, saya mengambil kesimpulan bahwa hubungan di antara Pak Kyai Aslam dan para santrinya ternyata akrab. Alasan utama untuk kesimpulan tersebut adalah karena sifat dan metode pengajaran Aslam Hadi. Metode pengajaran yang diambil Pak Kyai Aslam adalah metode yang keseimbangan. Yaitu, sambil menuntut standar tinggi dari santrinya dalam aspek baik pelajarannya maupun kehidupan sehari-hari di pondok, gaya pengajar Aslam Hadi tetap terbuka dan tenang. Misalnya, dalam pengajiannya, Aslam Hadi sering membuat santri-santri tertawa dengan ceritanya dan juga kelasnya selalu interaktif. Ketika ditanyai, “apakah Pak Kyai pernah atau sering memarahi kamu?”, santri-santri langsung menjawab (sambil nyengir!), “tentu! Tetapi dia selalu adil.” Metode pengajaran ini membina lingkungan pendidikan yang tenang dan nyaman dan juga membangunkan hubungan akrab di antara kyai dan para santri, tanpa meruntuhkan (atau merusak) wibawa kyai.

Maka, dapat kita lihat bahwa sifat kyai sangat penting untuk menentukan suasana pondok pesantren dan ternyata, di pondok pesantren Darur Ridwan, suasananya tenang dan santai. (ie, moderat!) Peran kyai sebagai pengurus pondok serta guru dan pembimbing para santri tidak membuat Aslam Hadi melupakan perannya sebagai ayah. Oleh karena rumahnya terletak di dalam lingkungan pondok, tidak ada masalah untuk Aslam Hadi dalam pembagian waktu di antara tugasnya untuk peran masing-masing.


Peran Kyai di luar Pondok Pesantren:
Sejumlah usaha yang a kyai mengeluarkan untuk perannya baik di dalam maupun di luar pondok pesantren tergantung pada prioritas setiap kyai. Misalnya, Pak Kyai Hashim Muzadi, pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam, Malang, Jawa Timur, memprioritaskan peran dan tugasnya sebagai ketua NU daripada perannya sebagai kyai. Oleh karena kesibukan dengan tugas di luar pondok pesantren, dia jarang berada di PP Al Hikam, maka para Ustad bertanggung jawab untuk mengajar dan mendidik santrinya. Walaupun, keadaan di PPMP Darur Ridwan sangat berbeda karena K.H. Aslam lebih mementingkan perannya di dalam pondok pesantren. Namun demikian, perannya di dalam masyarakat umum masih sangat penting.

Menurut K.H. Aslam, peran kyai dalam masyarakat umum adalah “untuk membantu masyarakat dalam kepentingan baik tingkat moral maupun material dan juga untuk memberikan input ke dalam masyarakat.”  Maka K.H.  Aslam terlibat dalam macam-macam aspek kehidupan masyarakat, terutama bidang politik dan keagamaan.

Sebelum K.H. Aslam mendirikan pondok pesantren Darur Ridwan dan diberi gelar kyai, dia anggota aktif dalam organisasi Nahdlutul Ulama (NU). Selama tiga belas tahun (1971 – 1984) dia terlibat dalam urusan NU dengan kerjaannya sebagai Wakil Ketua serta Ketua NU MWC Singojuruh, Banyuwangi dan juga sebagai Ketua NU MWC Songgon, Banyuwangi. Selain pekerjaannya dalam organisasi NU, dia juga berperan dalam bidang politik dari tahun 1971 sampai tahun 1977 sebagai anggota DPRD II Kabupaten Dati II, Banyuwangi. Kegiatan K.H. Aslam tersebut menunjukkan bahwa dia sejak dulu sudah seorang yang mempunyai peran penting dalam masyarakat lokal. Maka, dapat kita lihat bahwa sebelum diberi gelar kyai, seorang harus sudah memainkan peran dalam urusan masyarakat, dan peran tersebut memang tambah penting dan luas kalau sudah menjadi kyai.

Peran awal K.H. Aslam dalam masyarakat sebagai kyai adalah dalam bidang politik waktu, selama lima tahun, dia masih aktif sebagai anggota DPRD II Kabupaten Dati II, Banyuwangi (1987 – 1992). Sampai sekarang, peran lain yang dia kerjakan dengan senang hati termasuk keterlibatan dalam jaringan orang yang sudah naik haji ke Mekkah dan upacara persiapan dan pengajian untuk orang yang ingin naik haji ke Mekkah. Aslam Hadi diundang untuk menghadir di upacara-upacara bagi rombongan orang mau berangkat naik haji dan juga diundang memimpin pengajian untuk membantu orang yang mulai berrencana naik haji. Beliau juga termasuk tokoh pendiri Forum 5 Maret (sejenis LSM) yang beranggotakan para mantan pejuang, ulama, cendekiawan, pegawai dan buruh serta pengusaha.

Dalam perannya sebagai orang yang memberi input ke dalam masyarakat, K.H Aslam  sering diminta memberi pendapatnya tentang macam-macam hal. Misalnya, dia pernah diwawancarai oleh media lokal untuk majalah berita TOP, April 1999. Dalam majalah tersebut diterbitkan artikel mengenai Bupati Banyuwangi, H.T. Purnomo Sidik yang baru saja memundurkna diri. Pendapat Pak K.H. Aslam serta berberapa tokoh masyarakat lain diminta untuk artikel tersebut.  Juga, sering pendapat serta pikirannya diminta dalam Harian Radar Banyuwangi bila ada event-event penting.

Salah satu peran kyai dalam pondok pesantren adalah untuk memberi pengajian kepada santrinya. Pemberian pengajian tersebut juga merupakan peran kyai di luar pondok pesantren. K.H. Aslam memimpin dua kelompok pengajian dengan laki-laki dan perempuan dari masyarakat lokal. Kelompok ini diikuti oleh sepuluh sampai dua puluh orang dan berkumpul sekali seminggu untuk mendengarkan kata-kata dan penjelasan K.H. Aslam. Pertemuan tersebut biasanya terjadi di rumah salah satu pengikut, dan suasananya cukup santai dengan laki-laki dan perempuan selalu duduk di lantai, walaupun terpisah. K.H. Aslam menjawab pertanyaan-pertanyaan kalau ada, dan akhirnya pengikut makan bersama. 

Dalam rangka meningkatkan dan memperluas dakwahnya, K.H. Aslam telah membuat rekaman kaset dakwah yang diberi judul ‘Indonesiaku’. Dalam rekanan tersebut, beliau memberi pesan mengenai berbagai macam hal termasuk hal-hal politik di Indonesia seperti pembunuhan yang terjadi di Banyuwangi pada tahun 1998, dan hal agam seperti shalat, dan syariah Islam. Dalam pesannya K.H. Aslam menganjurkan persatuan dan kedamaian dengan diselingi musik dan lagu dakwah. Kaset ini diedarkan secara umum dan resmi berpajak PPN.

Ternyata K.H. Aslam memainkan peran penting baik di dalam maupun di luar pondok pesantrennya. Perannya di luar pondok pesantren dapat dilihat dari kegiatan-kegiatannya dalam bidang politik dan urusan keagamaan masyarakat Muslim. Memang, bisa dikatakan bahwa pada umumnya, kyai di Jawa merupakan jaringan tokoh masyarakat Indonesia yang sejak dulu memiliki peran penting, terutama dalam bidang politik dan agama. Pendapat ini juga dimiliki Zamakhsyari Dhofier (1985:56) yang dalam penelitian mengenai pandangan hidup kyai, Tradisi Pesantren, dia menyampaikan kesimpulan bahwa “sebagai suatu kelompok, para kyai memiliki pengaruh yang amat kuat di masyarakat Jawa…(dan) merupakan kekuatan penting dalam kehidupan politik Indonesia.”



BAB 6 – KURIKULUM SEKOLAH DI DARUR RIDWAN

Profil Pondok Modern Gontor

Seperti yang sudah dijelaskan dalam bab tiga, sebagai alumni Pondok Modern Gontor,  sistem pendidikan yang diambil oleh K.H. Aslam untuk pondok Darur Ridwan adalah sistem pendidikan yang berasal dari Pondok Modern Gontor. Maka, profil PM Gontor perlu digambarkan dulu karena sistem pendidikan Darur Ridwan sangat dipengaruhi oleh sistem PM Gontor.

PM Gontor terletak di sebuah desa kecil yang bernama Gontor yang berada di wilayah Kecamatan Mlarak, Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo Jawa Timur. Pada tanggal 9 Oktober 1926, Pondok Darussalam Gontor didirkan oleh tiga orang bersaudara yaitu, KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fanani dan KH Imam Zarkasyi. (Basyir, 1999:53)

Pondok Modern Gontor berkembang sangat pesat, dan sekarang jumlah santrinya sudah sesuai kapasitas maksimal, yaitu 3,200 santri putra. Para santri tersebut berasal dari seluruh Indonesia bahkan dari luar negeri, antara lain Somali, Malaysia dan Singapura. Dibangun di atas tanah seluas 8,5 hektar berdiri mesjid utama Pondok Modern Gontor yang menampung sekitar 4,000 jemaah. Selain fasilitas tersebut, Pondok Modern Gontor juga memiliki berderet bangunan gedung sekolah, asrama, perpustakaan, aula dan perkantoran yang minimal dua lantai dan usaha pertanian di atas tanah wakaf seluas lebih dari 250 hektar. Pondok Modern Gontor juga memiliki pondok khusus santri putri yang terletak di Mantingan, Kabupaten Ngawi dengan 1,280 santri putri. Tetapi perkembangan pondok bukan hanya dalam hal fisik. Hadirnya lebih dari 135 pondok alumni dan pondok cabang yang dikembangkan oleh sebagian dari sekitar 18,000 alumni.

Pada peringatan Dasawarsa Pondok Modern Gontor pada tanggal 19 Desember 1936, resmikan sebutan ‘modern’ bagi Pondok Darussalam Gontor. Sebelum saat itu, kata ‘modern’ hanya disebut oleh masyarakat di luar pondok. Tetapi malah sekarang lebih dikenal sebagai Pondok Modern Gontor daripada Pondok Darussalam. Juga pada acara peringatan Dasawarsa tersebut, dilakukan peresmian berdirinya sistem pendidikan baru, yaitu Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI – Sekolah Pendidikan Guru Islam). (Basyir, 1999:53)  Sistem KMI ini diperkenalkan sebagai pengganti sistem Tarbiyatul Athfal dan Sullamul Muta’allimin. Seperti kebanyakan hal baru, sistem KMI tidak langsung diterima oleh masyarakat yang malah meragukan keberadaanya yang menantang sistem pendidikan tradisional yang masih digunakan di pondok pesantren lain.

Perbedaan utama di antara sistem baru KMI ini dan sistem pendidikan tradisional yang diajar di pondok pesantren lain adalah sistem modern ini tidak menggunakan sistem pengajaran wetonan (massal) dan sorogan (individual). Para santri dididik dan diajarkan pada madrasah KMI yang berjenjang dari kelas satu sampai kelas enam, setaraf SMTP dan SMTA. Kini santri kelas enam bisa mengikuti ujian persamaan dengan madrasah aliyah dibawah Department Agama.

Kurikulum Pesantren ‘Darur Ridwan’
Seperti yang sudah dijelaskan di bagian dahulu kurikulum sekolah Darur Ridwan banyak diambil dari dan dipengaruhi oleh Pondok Modern Gontor dan kurikulum Darur Ridwan berdasarkan dari sistem KMI. Daftar bidang studi dan mata pelajaran dalam kurikulum KMI Darur Ridwan dipertunjukkan dalam bagian lampiran pada akhir laporan ini.

Santri-santri yang masuk pesantren Darur Ridwan tetap diterima walaupun kadang-kadang tingkat kelasnya beda. Mayoritas santri masuk pesantren Darur Ridwan sesudah lulus dari SD dan mengikuti pelajaran berjenjang mulai kelas satu sampai kelas enam. Tetapi ada juga santri yang masuk pesantren Darur Ridwan sesudah lulus dari SMTP. Bagi santri ini, mereka mengikuti jurusan intensif, termasuk kelas satu intensif, kelas tiga intensif, terus kelas lima dan enam biasa. Jurusan intensif tersebut lebih mementingkan pelajaran agama daripada pelajaran umum karena santri yang sudah lulus SMP sudah banyak dapat pelajaran umum tetapi agak ketinggalan dalam bidang ilmu agama.

Sesudah santri lulus berijazah dari kelas enam di pesantren Darur Ridwan, para santri alumni baru diundang tinggal satu tahun lagi di pondok dan membantu mendidik santri kelas bawah. Pada umumnya, para alumni baru senang menerima undangan tersebut karena itu memberi mereka kesempatan untuk menjadi Ustadah dan dapat pengalaman dalam bidang kerja perguruan.

Ada tiga bagian dari kurikulum sekolah pesantren Darur Ridwan, termasuk ilmu umum, ilmu agama dan program ekstrakurikuler.
a) Ilmu Umum:
Mata pelajaran ilmu umum yang diajarkan di pesantren Darur Ridwan banyak yang sama dengan mata pelajaran dari SMTP dan SMTA. Misalnya,  ilmu bumi, sejarah Indonesia, matematika, fisika, biologi, antropologi, ilmu jiwa dan bahasa Indonesia. Namun ada juga beberapa mata pelajaran tambahan karena tujuan sistem KMI adalah untuk mendidik para santri dalam bidang perguruan. Mata pelajaran tambahan termasuk ilmu pendidikan yang diajar dari kelas tiga sampai kelas enam, dan praktek mengajar yang hanya untuk kelas enam.

Para santri yang mengikuti kelas satu, dua dan tiga; yaitu kelas yang setaraf dengan SMTP, diperbolehkan keluar dari pondok dua kali seminggu untuk mengikuti beberap pelajaran di SMTP yang terletak di dekat pesantren Darur Ridwan. Ini dilakukan biar para santri bisa memastikan bahwa mereka memang setaraf dengan SMTP lokal karena pada akhir tahun, santri-santri dari pesantren Darur Ridwan harus mengikuti ujian yang diberikan kepada anak sekolah SMTP.

Bahasa Inggris merupakan bagian penting dalam kurikulum ilmu umum dan ada empat mata pelajaran yang berkaitan dengan bahasa Inggris, yaitu: composition, conversation, reading dan grammer. Menurut Pak Aslam, salah satu peraturan pondok adalah bahwa pada malam hari para santri dilarang menggunakan bahasa daerah atau bahasa Indonesia, mereka disuruh menggunakan bahasa Inggris. Walaupun terori peraturan ini sangat bagus karena mendorong para santri untuk memperdalam bahasa yang sedang mereka belajari, kenyataan yang ada di pondok menunjukkan bahwa ini peraturan yang sulit bagi para santri yang bahasa Inggrisnya masih sedikit saja. Maka peraturan ini tidak begitu diikuti secara sempurna.

b) Ilmu Agama:
Dalam bagian kurikulum ilmu agama ada dua cara belajar-mengajar yang berbeda. Pertama, sistem modern, yaitu mata pelajaran diajar di dalam ruang kelas oleh seorang guru yang berdiri di depan. Kedua, lewat sistem tradisional, yaitu pengajian yang dipimpin oleh Pak Kyai atau kadang-kadang salah satu Ustad, di dalam musholla sesudah sholat jemaah. Dalam sistem pengajian, penerapan kurikulum diberikan kepada para santri oleh Pak Kyai secara berjenjang sesuai dengan kemampuan para santri. Yaitu pemberian pelajaran dimulai dari kitab-kitab dasar, kemudian menuju ke kitab-kitab tingkat tinggi bila santri sudah memahaminya.

Mata pelajaran ilmu agama yang diajar oleh Pak Kyai, para Ustad dan para Ustadah di dalam ruang kelas termasuk tajwid, tafsir, tauhid, fiqih, usul fiqih, faroid, perbandingan agama, tarikh Islam dan terjemah Al Quran. Untuk kelas tingkat atas,  pelajaran ini diajar dalam bahasa Arab, maka pelajaran bahasa Arab sangat penting. Banyak waktu digunakan di pesantren Darur Ridwan untuk pelajaran bahasa Arab. Ada sebelas mata pelajaran yang berkaitan dengan bahasa Arab, dibanding dengan empat yang untuk bahasa Inggris.

c) Ekstrakurikuler:
Program kegiatan dan pelajaran ekstrakurikuler merupakan bagian penting sekali bagi setiap pranata pendidikan, termasuk pesantren Darur Ridwan. Di Darur Ridwan program ekstrakurikuler dipentingkan karena tujuan Darur Ridwan adalah untuk membentuk perempuan muslimah yang siap dan mampu menghadapi tantangan di dunia ini. Lewat program ekstrakurikuler tersebut, santri dapat kesempatan untuk memperluas pengetahuan dan ketrampilannya sesuai dengan keperluaanya untuk tinggal di masyarakat umum.

Selain dari perannya sebagai bagian pelajaran yang memperluas pengetahuan dan ketrampilan para santri, program ekstrakurikuler juga merupakan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dan santai. Kegiatan semacam ini penting sekali dalam perkembangan mental dan fisik seorang pemuda. Memang sudah banyak penelitian mengenai cara pemuda-pemudi belajar dengan baik dan ternyata tidak cukup bagi para pemuda kalau hanya diberi pelajaran di dalam ruang kelas dengan buku-buku. Yang juga diperlukan adalah pelarajan yang bisa didapat dari pengalamannya sendiri dan dari kegiatan yang menuntut keterlibatan aktif.

Ada macam-macam kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti para santri di Darur Ridwan. Salah satu yang paling populer adalah pramuka di mana santri mendapat kesempatan untuk mengikuti kemah yang diadakan di tempat di luar pondok pesantren (misalnya di pantai). Para santri mengikuti kegiatan berkemah tersebut selama beberapa hari, setahun sekali dan aktivitas-aktivitasnya disiapkan oleh para Ustad dan Ustadah. Adanya juga kegiatan pramuka yang bernama ‘wade games’. Kegiatan ‘wade games’ tersebut termasuk macam-macam lomba olahraga dan ketrampilan yang dimainkan selama sehari penuh. Kegiatan ‘wade games’ dilakukan selama satu hari penuh dan hari itu selalu ditunggu-tunggu para santri. Program pramuka ini adalah bagian program ekstrakurikuler yang memberikan para santri kesempatan (walaupun agak singkat) untuk melupakan buku-bukunya dan pelajaran akademiknya selama sementara dan belajar dari dan tentang alam.

Selain pramuka, kegiatan ekstrakurikuler termasuk pelajaran ketrampilan di mana para santri diajar berbagai macam ketrampilan praktis misalnya; memasak, menjahit, merias, menyulam dan membuat hiasan hiasan seperti bunga. Dari pelajaran ekstrakurikuler tersebut, para santri mendapat ketrampilan yang bermanfaat bagi mereka untuk kehidupannya dalam masyarakat umum. Ada juga pelajaran ekstra kurikuler khutbatul mimbariah (berpidato) di mana santri dapat membangun perasaan percaya dirinya karena harus berani berdiri di depan banyak orang yang kadang-kadang merupakan pengalaman yang menakutkan.

Pada setiap akhir tahun ajaran Darur Ridwan mengadakan konser bagi para santri. Di konser ini para santri mempunyai kesempatan untuk mempertunjukkan ketrampilan macam-macam yang mereka dapat dari kegiatan ekstra kurikulernya. Selama konser tersebut, kegiatan ekstra kurikuler yang dipertunjukkan termasuk kesenian, drama, karaoke dan samroh.

No comments:

Post a Comment